Ruang-Waktu Dan Kesadaran Sebagai Suatu Kontinuum

Konsepsi ruang dan waktu merupakan abstraksi
atas alam yang dapat di indera oleh manusia. Jadi,
yang berperanan disini adalah kognisi dan persepsi
manusia. Maka ruang dan waktu sebenarnya
bersifat energetis dan psikologis kalau saja kita mau
mengaitkannya dengan diri kita sendiri. Sebagai
sesuatu yang energetis, maka ruang-waktu
membangun pengertian gerakan energi persatuan
waktu, atau munculnya suatu sumber energi yang
bergetar sebagai gelombang yang merambat dan
menjalar persatuan waktu. Dengan kata lain,
eksistensi ruang waktu berkaitan dengan ruang yang
terbentuk akibat adanya atau munculnya secara
mandiri suatu sumber energi, suatu white hole yang
menjalarkan energi setiap saat atau dalam fisika
dikatakan sebagai frekuensi.

Munculnya white hole sebagai eksistensi energi yang
menjalar membangun pengertian ruang dan waktu
hanya dimungkinkan ketika manusia menangkap
impuls energetis itu sebagai suatu cahaya yang
dikognisi dan dipersepsi oleh inderawinya unutk
kemudian diolah otaknya. Maka jadilah sesuatu itu
disimpulkan "ada" oleh kita, termasuk pengertian
ruang dan waktu. Sehingga saya simpulkan bahwa
ruang-waktu sejatinya tidak cuma sekedar bersifat
fisik tetapi juga psikologis, bahkan realitas sejatinya
psikologis. Kita memang hidup di dalam The
Matrix.

3.1 Konsep Ruang-Waktu Materialistik

Kesadaran atas ruang dan waktu sebenarnya sudah
dikenal sejak dahulu. Sejak zaman awal peradaban
dimulai, manusia secara naluriah mengenali
terjadinya pergantian waktu seperti siang dan
malam, kapan waktu bercocok tanam dan
memanen, dan berbagai aktivitas bergantung waktu
lainnya. Namun, secara konseptual dari filsafat
Yunani-lah manusia mulai membuat abstraksi
bahwa ruang dan waktu merupakan sesuatu yang
melekat kepada makhluk khususnya manusia
[133]
.
Kemudian, Isaac Newton lebih khusus lagi
memformulasikan konsepsi ruang dan waktu
sebagai bagian dari hukum-hukum alam dan fisis
[115]
. Namun, beliau mengatakan bahwa ruang
terpisah dengan waktu.

Konsep ruang dan waktu yang diperkenalkan oleh
Isaac Newton disebut ruang dan waktu absolut.
Dalam konsep Newton ruang dan waktu absolut
mengacu kepada suatu kerangka referensial yang
tetap, sehingga dimana pun manusia yang berperan
sebagai pengamat berada waktu bersifat tetap.
Dalam arti bahwa kalau jarum jam di tangan saya
berdetik satu kali, maka jam tangan Anda yang saat
ini ada di Jayapura juga akan berdetik satu kali juga.
Konsep waktu absolut ini menyebabkan ruang bisa
dipisahkan dengan waktu sebagai suatu dimensi
tersendiri.

Konsep ruang dan waktu absolut kemudian di
rombak total oleh Albert Einstein yang menyatakan
bahwa waktu bersifat relatif tergantung kepada
posisi pengamat dan yang diamati. Dengan konsep
ini maka ruang dan waktu tidak bisa dipisahkan
tetapi melekat menjadi kesatupaduan yang disebut
kontinuum ruang-waktu. Konsep relativitas Albert
Einstein akhirnya merombak hukum-hukum fisika
Newtonian. Sampai saat ini, konsepsi kontinuum
ruang-waktu merupakan konsepsi yang dipakai
dalam perhitungan-perhitungan fisis dengan fisika
modern2
.

Semua makhluk ibaratnya ditempatkan di dalam
suatu wadah dengan dinding ruang-waktu ciptaan.

2
Kita mengenal saat ini konsep fisika klasik yang
berdasarkan hukum-hukum Newton yang deterministik
dengan asumsi waktu absolut dan fisika modern yang
menggunakan konsep waktu relatif Einstein. Dalam
penerapan di dunia atom-sub-atomis kondisi indeterministik
terjadi dimana hukum-hukum Newton tidak berlaku .
Namun yang berkalu adalah teori kuantum.
Didalam wadah itu, semua makhluk mengalami
suatu proses adalah suatu hal yang tidak bisa
dipungkiri. Lantas kenapa harus ada ruang-waktu?
Sebenarnya ruang-waktu merupakan sunnatullah
Allah yang paling fundamental karena
merepresentasikan al-Qudrah (Kekuasaan-Nya) yang
meliputi segala sesuatu (QS 41:54). Konsep Al
Qur'an meliputi segala sesuatu identik dengan
konsepsi Albert Einstein bahwa ruang-waktu
merupakan suatu kontinuum dimensional yang
tidak dapat dipisahkan. Meskipun, tidak tepat benar
karena konsepsi Einstein pada akhirnya akan
merujuk pada alam fisik saja.

3.2 Tuhan Ada Dimana?

Secara fisik, apa yang kita sebut sebagai "ruang"
adalah suatu acuan bentuk (panjang, tinggi, dan
lebar) yang membatasi gerak sedangkan "waktu"
menyatakan acuan adanya suatu proses
perkembangan, pertumbuhan, ekspansi atau
pergerakan. Keduanya kemudian disebut
kontinuum ruang-waktu dan saat ini
mendefinisikan alam semesta sebagai ruang dimensi
4. Lantas, kenapa harus ada ruang-waktu bila Allah
mampu menciptakan segala sesuatu? Pertanyaaan
demikian, dalam formatnya yang lain pernah
terlontar dari mulut seorang ahli fisika dan
matematika teoritis yaitu Prof. Paul Davies
[82]
.
Menurut Prof. Paul Davies :

"Tuhan tidak dapat menjadi yang perkasa jika Dia sendiri
tunduk kepada hukum-hukum fisika mengenai waktu.
Jika Tuhan tidak bisa menciptakan waktu karena waktu
itu sendiri melahirkan dirinya sendiri, tentunya Dia juga
tidak pernah menjadi pencipta alam semesta. Kedua
masalah tersebut saling bergantung."

Pendapat Prof. Paul Davies diatas khas
kecenderungan spekulatif ateistis-materialistis
karena (lagi-lagi) mengibaratkan Tuhan dalam
wujud yang fisikal seperti makhluk sehingga
diperlukan konsep waktu, padahal ruang-waktu
adalah representasi maujud-Nya sebagai wadah
eksistensi makhluk, bukan wadah untuk Tuhan.
Tuhan sendiri tidak bergantung pada pengertian-
pengertian fisikal temporal maupun spasial (ruang
dan waktu) yang menjadi atribut makhluk karena
Kemahakuasaan-Nya.

Dalam tinjauan yang lebih arif, sebenarnya atribut
ruang-waktu yang menjadi wadah eksistensi
makhluk diperlukan sebagai suatu anugerah untuk
pembelajaran, dalam arti untuk memahami dirinya
dan hubungannya dengan Penciptanya. Jadi
berhubungan dengan kesadaran dan kemampuan
manusia untuk menyimpan dan mengolah noise,
data, informasi dan pengetahuan yang lebih nyata,
real terbatas, dan tentu saja bisa dibuat model
maupun bendanya yang lebih bermanfaat bagi
semua makhluk bernama manusia misalnya
membuat handphone dari gelombang
elektromagnetik dan prinsip dasar komunikasi data
yang dulu mungkin hanya disebut sebagai suatu
"rumusan metaforik" misalnya "Malak" alias
Malaikat. Jelaslah masalah utama manusia
sebenarnya berhubungan erat dengan komunikasi
dan bahasanya yang harus selalu diaktualisasikan di
setiap zaman supaya orang tidak berlama-lama
terjebak di masa lalu maupun berlama-lama terjebak
di masa depan.

Pendapat Paul Davies tersebut mendapat tentangan
dari teolog-fisikawan Protestan Dr. Luco van Den
Brom yang menuduhnya lebih cenderung percaya
kepada adanya suatu model fisis tertentu yang
mengatur alam semesta seperti adanya otak super
alamiah ketimbang menalar dengan logis ilmiah
sebagai ahli fisika. Pada intinya, memang ada
perbedaaan sudut pandang karena Paul Davies
mempunyai kecenderungan yang sangat
materialistik, sehingga ia menafikan keberadaan
yang tidak dapat ditangkap inderawi dan akalnya.
Artinya, memang pertanyaan Paul Davies sejatinya
lahir dari seseorang yang tidak mempunyai
keimanan terhadap adanya Tuhan yang Lahir dan
Batin. Sehingga ia lebih mempercayai suatu
makhluk fisis yang luar biasa seperti "Otak Super"
misalnya. Namun anehnya, Paul Davies mengakui
sesuatu yang mempunyai sifat "mandiri" atau
"Berdiri Sendiri" yang tersirat dari perkataannya
"melahirkan dirinya sendiri", suatu sifat yang dalam
agama Islam sebenarnya merupakan salah satu sifat
"Allah Yang Berdiri Sendiri".

Perdebatan teologis semacam itu saat ini mewarnai
ilmu pengetahuan dan kosmologi di seluruh dunia,
khususnya dari kubu yang disebut secara dikotomis
"ateis dan agamawan". Hal demikian terjadi tidak di
Barat maupun tidak di Timur yang secara perlahan-
lahan sebagian mulai terkooptasi untuk mengikuti
pandangan barat dimana manusia menjadi pusat
dari alam semesta. Pandangan egosentris dari
filosofi materialis-ateis ini tidak heran menyebabkan
manusia terpenjara ke dalam akalnya sendiri dan
anehnya banyak dianut oleh kalangan yang
berkecimpung dalam dunia sains yang mengaku
bernalar logis. Padahal, jelas-jelas secara konseptual
salah karena menyerupakan makhluk dengan Tuhan
seolah-olah mengira sebuah lukisan Pablo Picasso
sama persis dengan Pablo Picasso yang manusia.
Padahal lukisannya hanyalah refleksi dari pikiran
dan citarasa Pablo Picasso saja yang bersifat abstrak
sebagai suatu gema dari pengalamannya atas
kehidupan untuk kemudian dilukiskan di atas
kanvas terbatas menjadi ekspresi terbatas dan tidak
bebas. Tentunya semua itu sesuai dengan seleranya
sebagai Si Pelukis!

0 comments:

Post a Comment